IPMAFA – (Sabtu 11/17) telah berlangsung simposium SATU DASAWARSA Institut Pesantren Mathali’ul Falah dan Peringatan Haul Dr. (HC) KH. MA. Sahal Mahfudh. Tema simposiun adalah “Menuju Grand Design Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren”. Pada simposium ini menghadirkan sejumlah narasumner meliputi Abdul Ghofarrozin, M.Ed (Rektor IPMAFA Pati), Dr. Nur Rofi’ah, Bil Uzm (Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran) serta Dr. Islah Gusmian. Acara ini berlangsung pukul 13.00-16.00 WIB bertempat di Auditorium IPMAFA Pati.
Sambutan dari Dr. A. Dimayati M.Ag (Wakil Rektor I IPMAFA Pati) menyampaikan bahwa “Menuju Grand Design Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren”, IPMAFA meyematkan nama pesantren dalam lembaganya. Ini berjalan sejak IPMAFA Berdiri pada 2008. Digagas dengan melibatkan banyak pihak dan yang mentradisikan pesantren. Tapi landasan untuk mendirikan Perguruan Tinggi berbasis nilai-ilai pesantren ini belum kuat, masih ada perbedaan pemikiran, dikotomi antara pesantren dan PTKI. Menyematkan nama pesantren juga ada tuntutan untuk tidak mengkotak-kotakkan. Ada perubahan orientasi, filosofis, epistimologi. Watak/corak di PTKI belum ditemukan yang pas sesuai dengan basic pesantren.
Sambutan dari Dr. A. Dimayati M.Ag (Wakil Rektor I IPMAFA Pati) menyampaikan bahwa “Menuju Grand Design Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren”, IPMAFA meyematkan nama pesantren dalam lembaganya. Ini berjalan sejak IPMAFA Berdiri pada 2008. Digagas dengan melibatkan banyak pihak dan yang mentradisikan pesantren. Tapi landasan untuk mendirikan Perguruan Tinggi berbasis nilai-ilai pesantren ini belum kuat, masih ada perbedaan pemikiran, dikotomi antara pesantren dan PTKI. Menyematkan nama pesantren juga ada tuntutan untuk tidak mengkotak-kotakkan. Ada perubahan orientasi, filosofis, epistimologi. Watak/corak di PTKI belum ditemukan yang pas sesuai dengan basic pesantren.
Kegiatan intelektual tidak hanya bersinggungan dengan tanggung jawab sosial, budaya, ilmiah. Untuk kepentingan itu, kita perlu menggali gagasan-gagasan, IPMAFA dan perguruan tinggi serupa yang sesuai format baku. Apakah konsisiten dengan tafaqquh fi ad din atau kebutuhan pasar serta memberikan frame besar dalam merancang basis keilmuannya.
Sementara narasumber pertama oleh Abdul Ghofarrozin, M.Ed (Rektor IPMAFA Pati) menyatakan bahwa IPMAFA oleh Kiai Sahal bukanlah perguruan tinggi yang didirikan pesantren tapi ini ‘perguruan tinggi berbasis pesantren’. Proses pencarian dilakukan dari tahun ke tahun kemudian kita sempurnakan. Ada positif dan negatifnya, apa yang diperjuangkan sebagai basis pesantren didengarkan dan ternyata jadi model yang bisa diharapkan menjadi rujukan utama antara Islam dan agama lain. Pembeda perguruan pesentren tidak hanya level praksis tapi juga epistimologis dan ideologis.
Karakter perguruan berbasis pesantren adalah integrasi antar ilmu dan agama yang bisa bersatu padu dan berjalan bersama. Perguruan tinggi berbasis pesantren memverifikasi kebenaran ilmiah, ada sanad, ijazah, di luar kategori rasional empiris, memperkuat basis ideologis, tempatnya ideologis agama, organisasi masyarakat, dan tidak bebas nilai. Tidak berhenti pada pengajaran tapi pendidikan membentuk akhlak karimah/karakter. Peran dosen tidak hanya sebagai pengajar, tapi juga musrif, murabbi, diikuti dan dianut oleh mahasiswanya.
Insan salih akrom yang diterapkan IPMAFA, dimakna Akrom bersifat transedental adapun Saleh bersifat horizontal, bisa bersifat saleh sosial. Saleh memiliki makna luas yakni sesuatu yang dinamis, sesuatu yang berbeda sesuai zamannya. Ikhlas, berkah, tawadlu, proses dialogis untuk mencari kebenaran, dengan husnudzon, al-istiqomah/konsisten terhadap yang kita lakukan, uswah hasanah, bisa menjadi role model bagi lingkungan, diimbangi dengan zuhud. Al-mudawwamah/perjuangan, ada spirit, mandiri, moderasi, tawassut/tengah-tengah, terakhir al-barakah membutuhkan effort, dan jalan ini tidak gratis, maka didasari dengan al-hirs. Pesantren memiliki 3 fungsi, yakni lembaga pendidikan, dakwah, community development. Meningkat jika dimasukkan dalam perguruan tinggi berbasis riset sehingga lebih lengkap lagi. Diharapkan ini bisa didapatkan fiedback. Tawaran ini bisa jadi matang atau direvisi atau direkontruksi. Saat ini ada tren baru perguruan tinggi berbasis culture, market driver, kita harus lihat ulang dengan para mahasiwanya, siap masuk pasar tertentu. Membuat pasar, mengelola pasar, generasi Z namun ‘tidak mengikuti genderang orang lain agar kita memiliki ciri khas sendiri’.
Narasumber kedua oleh Dr. Nur Rofi’ah, Bil Uzm (Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran). Beliau mengambil Judul Paradigma tauhidik PT Pesantren dan kontekstualisasinya. Ideologi radikalisme dan sekulerisme bisa tumbuh karena berpengaruh pada cara pengelola perguruan tinggi selanjutnya. Kita punya tradisi NU, al-qur’an dan hadis sebagai ilmu alat lemah dalam pemikiran orang radikal. Jihad bagi mereka melawan kaum kafir. Kita dan mereka memahami ayat yang sama dengan pandangan yang berbeda. Parameter/kualitas akademika ada karena hubungan baik dengan Tuhan, manfaat seluas-luasnya pada manusia. Jangkauan kemaslahatan, saleh-salihah, muslim-muslimah, sebagai masyarakat yang ideal (khoiru ummah), keadilan, memiliki dampak yang luas, menjadikan baldatun toyyibantun wa rabbun ghofur. Maslahah dalam level global yakni daya lentingnya seperti rahmat bagi seluruh alam.
Karakteristik perguruan tinggi pesantren punya tradisi keilmuan yang kuat dan luas. mempelajari ilmu alat, apa bedanya pesantren yang PT atau tidak?, di madrasah ilmu alat dihafalkan, di PT maka diaplikasikan, skill yang khas untuk menganalisis kemaslahatan agama berbasis teks dan realitas. Sudah punya modal yang kuat atas itu. Penting memperkuat ilmu alat kepada ilmu umum. Merumuskan kemaslahatan sesuai zamannya. Empat dharma perguruan tinggi pesantren; pendidikan, dakwah, penelitian, pengembangan masyarakat. Tradisi keilmuan kuat. Namun, adanya paradigma positivistik dalam meneliti. Kebenaran terukur, universal/generalisasi, bebas nilai. Ini digunakan pada kelompok radikal. Fakultas umum mudah terpapar rasionalisme karena mereka terbiasa dengan paradigma positivistik yang terukur dengan bukti.
Narasumber ketiga disampaikan Islah Gusmian dengan judul ‘Epistimologi Keilmuan Pesantren’. Aceh, Palembang, Padang, mewarisi tradisi pesantren. Bagaimana menghidupkan rohnya? ini penting. Orang-orang muslim yang datang ke Nusantara. Ar-Raniry, Hamzah Fanzuri. Kiai Seleh Darat (menulis kitab dengan pegon), Kiai Nawawi juga. Tradisi fiqh dan tasawuf yang ini jadi pondasi pesantren. Imam Ghozali selalu dikaji di pesantren. Perguruan tinggi tidak bisa mendidik apa itu beriman bertakwa?, maka adanya di pesanren. Di pesantren ada hubungan personal, hubungan kebatinan, kiai mendoakan muridnya juga. Di perguruan tinggi susah ditemukan basis spiritual ini. Pendidikan yang ideal menurut Ki Hajar Dewantoro adalah pesantren. Tasawuf itu berjenjang. Cara/model berpikirnya ini menurut beliau keren. Prinsip pengajaran di pesantren sudah disusun sedemikian rupa.
Kiai kita dulu itu bagus sekali dalam membaca kitab Ulama Timur Tengah dan kemudian ditulis, ini merupakan bagian riset, membaca tidak hanya teks tapi juga realitas. Kajian naskah pesantren, ada manuskrip. Tapi siapa yang mengkaji? Kiai Ahmad Rifa’i, menulis banyak kitab dalam aksara Jawa pegon. Sosio-historis politik, strategi kebudayaan melawan kolonialisme, dengan melarang adanya wali hakim. Tranmisi ikhlas, kemanfaatan dan keberkahan ada pada keikhlasan kiai. Ini profil pesantren sejak abad 19. Miniatur dari ilmu-ilmu dan tradisi pesantren dibuka kembali. Pendekatan sastra jangan pernah hilang dari pesantren karena itu seni, warisan dari walisongo. Suluk-suluk Jawa, dipengaruhi oleh pesantren dengan media bahasa Jawa melalui metrum macapat. Serat wedhatama itu ada 100 bait. Jika dulu dengan budaya, seni, sekarang area dakwah sangat luas, yakni teknologi. Pesantren harus hadir atas itu. Dakwah di media sosial itu multi-marketing. Banjarmasin memiliki yang namanya parumunan dan di Jawa disebut dengan primbon. Suara itu gelombang energi dan sebenarnya obat herbal itu tradisi pesantren.
Terakhir diisi oleh sesi dialog interaktif dan gagasan oleh para peserta beserta narasumber. Acara berlangsung sangat kondusif dan merumuskan berbagai hal terkait Grand Design Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren.
Insan salih akrom yang diterapkan IPMAFA, dimakna Akrom bersifat transedental adapun Saleh bersifat horizontal, bisa bersifat saleh sosial. Saleh memiliki makna luas yakni sesuatu yang dinamis, sesuatu yang berbeda sesuai zamannya. Ikhlas, berkah, tawadlu, proses dialogis untuk mencari kebenaran, dengan husnudzon, al-istiqomah/konsisten terhadap yang kita lakukan, uswah hasanah, bisa menjadi role model bagi lingkungan, diimbangi dengan zuhud. Al-mudawwamah/perjuangan, ada spirit, mandiri, moderasi, tawassut/tengah-tengah, terakhir al-barakah membutuhkan effort, dan jalan ini tidak gratis, maka didasari dengan al-hirs. Pesantren memiliki 3 fungsi, yakni lembaga pendidikan, dakwah, community development. Meningkat jika dimasukkan dalam perguruan tinggi berbasis riset sehingga lebih lengkap lagi. Diharapkan ini bisa didapatkan fiedback. Tawaran ini bisa jadi matang atau direvisi atau direkontruksi. Saat ini ada tren baru perguruan tinggi berbasis culture, market driver, kita harus lihat ulang dengan para mahasiwanya, siap masuk pasar tertentu. Membuat pasar, mengelola pasar, generasi Z namun ‘tidak mengikuti genderang orang lain agar kita memiliki ciri khas sendiri’.
Narasumber kedua oleh Dr. Nur Rofi’ah, Bil Uzm (Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran). Beliau mengambil Judul Paradigma tauhidik PT Pesantren dan kontekstualisasinya. Ideologi radikalisme dan sekulerisme bisa tumbuh karena berpengaruh pada cara pengelola perguruan tinggi selanjutnya. Kita punya tradisi NU, al-qur’an dan hadis sebagai ilmu alat lemah dalam pemikiran orang radikal. Jihad bagi mereka melawan kaum kafir. Kita dan mereka memahami ayat yang sama dengan pandangan yang berbeda. Parameter/kualitas akademika ada karena hubungan baik dengan Tuhan, manfaat seluas-luasnya pada manusia. Jangkauan kemaslahatan, saleh-salihah, muslim-muslimah, sebagai masyarakat yang ideal (khoiru ummah), keadilan, memiliki dampak yang luas, menjadikan baldatun toyyibantun wa rabbun ghofur. Maslahah dalam level global yakni daya lentingnya seperti rahmat bagi seluruh alam.
Karakteristik perguruan tinggi pesantren punya tradisi keilmuan yang kuat dan luas. mempelajari ilmu alat, apa bedanya pesantren yang PT atau tidak?, di madrasah ilmu alat dihafalkan, di PT maka diaplikasikan, skill yang khas untuk menganalisis kemaslahatan agama berbasis teks dan realitas. Sudah punya modal yang kuat atas itu. Penting memperkuat ilmu alat kepada ilmu umum. Merumuskan kemaslahatan sesuai zamannya. Empat dharma perguruan tinggi pesantren; pendidikan, dakwah, penelitian, pengembangan masyarakat. Tradisi keilmuan kuat. Namun, adanya paradigma positivistik dalam meneliti. Kebenaran terukur, universal/generalisasi, bebas nilai. Ini digunakan pada kelompok radikal. Fakultas umum mudah terpapar rasionalisme karena mereka terbiasa dengan paradigma positivistik yang terukur dengan bukti.
Narasumber ketiga disampaikan Islah Gusmian dengan judul ‘Epistimologi Keilmuan Pesantren’. Aceh, Palembang, Padang, mewarisi tradisi pesantren. Bagaimana menghidupkan rohnya? ini penting. Orang-orang muslim yang datang ke Nusantara. Ar-Raniry, Hamzah Fanzuri. Kiai Seleh Darat (menulis kitab dengan pegon), Kiai Nawawi juga. Tradisi fiqh dan tasawuf yang ini jadi pondasi pesantren. Imam Ghozali selalu dikaji di pesantren. Perguruan tinggi tidak bisa mendidik apa itu beriman bertakwa?, maka adanya di pesanren. Di pesantren ada hubungan personal, hubungan kebatinan, kiai mendoakan muridnya juga. Di perguruan tinggi susah ditemukan basis spiritual ini. Pendidikan yang ideal menurut Ki Hajar Dewantoro adalah pesantren. Tasawuf itu berjenjang. Cara/model berpikirnya ini menurut beliau keren. Prinsip pengajaran di pesantren sudah disusun sedemikian rupa.
Kiai kita dulu itu bagus sekali dalam membaca kitab Ulama Timur Tengah dan kemudian ditulis, ini merupakan bagian riset, membaca tidak hanya teks tapi juga realitas. Kajian naskah pesantren, ada manuskrip. Tapi siapa yang mengkaji? Kiai Ahmad Rifa’i, menulis banyak kitab dalam aksara Jawa pegon. Sosio-historis politik, strategi kebudayaan melawan kolonialisme, dengan melarang adanya wali hakim. Tranmisi ikhlas, kemanfaatan dan keberkahan ada pada keikhlasan kiai. Ini profil pesantren sejak abad 19. Miniatur dari ilmu-ilmu dan tradisi pesantren dibuka kembali. Pendekatan sastra jangan pernah hilang dari pesantren karena itu seni, warisan dari walisongo. Suluk-suluk Jawa, dipengaruhi oleh pesantren dengan media bahasa Jawa melalui metrum macapat. Serat wedhatama itu ada 100 bait. Jika dulu dengan budaya, seni, sekarang area dakwah sangat luas, yakni teknologi. Pesantren harus hadir atas itu. Dakwah di media sosial itu multi-marketing. Banjarmasin memiliki yang namanya parumunan dan di Jawa disebut dengan primbon. Suara itu gelombang energi dan sebenarnya obat herbal itu tradisi pesantren.
Terakhir diisi oleh sesi dialog interaktif dan gagasan oleh para peserta beserta narasumber. Acara berlangsung sangat kondusif dan merumuskan berbagai hal terkait Grand Design Perguruan Tinggi Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren.
Tidak ada komentar
Posting Komentar