Dahlan Iskan: Bisa Rebut 4 Kepercayaan ini, Kamu Jadi Entrepreneur Sejati

 


Redaksi IPMAFA - Dahlan Iskan (DI) dalam kegiatan Studium Generale (SG) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati,  menuturkan bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur sejati setidaknya mampu lolos seleksi 4 kepercayaan, yakni Kemauan, Bisa atau Tidak, Kepedulian terhadap sekitar dan kemampuan memegang kendali keuangan.

Dalam kegiatan bertajuk Menumbuhkan Spirit Santripreneur di Era Society 5.0 itu DI menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur, pertama, seseorang harus mampu menunjukkan seberapa kuat kemauannya.

Selanjutnya, untuk mengukur kemauan seseorang DI mengibaratkannya dengan kadar karat yang terdapat dalam emas, yakni 24, 22, 20, dan 18. Dengan kategori tersebut bisa diketahui seberapa tinggi level atau kadar kemauan seseorang.

“Misalnya ini ada sampah tidak pada tempatnya, maka bagi yang punya kemauan akan diambil kemudian diambil ke tempat sampah. Inilah kategori 24 karat. Tapi ada juga yang hanya bilang, “haduh, sampah kok di sini.” Maka ini dibawah 24 karat. Ada juga yang masa bodoh dengan sampah. Maka itu kategori yang tidak berkarat sama sekali,” terang DI.

Kedua, untuk menjadi seorang entrepreneur harus mampu menjawab pertanyaan ‘Bisa atau Tidak’? dalam hal ini DI menyampaikan guyonannya dari hasil penemuannya terhadap orang-orang yang sering bertanya kepadanya tentang bagaimana menjadi seorang pengusaha.

“Dipercaya itu ada kelas-kelasnya. Kita harus bisa membangun kepercayaan kelas 1 dulu, yakni kemauan. Jika benar-benar mau, maka apakah dia bisa atau tidak? Karena banyak orang bilang:

Seseorang       : “Pak saya ini mau, tapi kok nggak bisa?”

Pak DI            : “Kamu mau nggak sih sebetulnya?”

Seseorang       : “Mau”.

Pak DI            : “Lho, tapi kok nggak bisa?”

Seseorang       : “Nggak tahu, Pak.”

Pak DI            : “Tapi mau, sebetulnya?”

Seseorang       : “Mau.”

Pak DI            : “???????x#@$%^&*()”

Setelah mau dan bisa, maka kepercayaan ketiga adalah peduli nggak terhadap sekitar atau pekerjaan di luar tanggung jawabnya. “Misalnya suka membantu pekerjaan teman, atasan, dll,” contohnya.

Kepercayaan keempat dan tertinggi adalah di bidang keuangan. Kepercayaan keempat ini merupakan hal terberat yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin menjadi entrepreneur sejati.

Menurut DI, banyak orang lolos seleksi pada tahap 1, 2 dan 3, namun belum tentu lolos di bidang kendali atau pengelolaan keuangan.

“Bisa apa tidak dia memegang dan mengelola keuangan? Ini harus dilatih. Di pesantren harusnya lebih mudah melakukan ini, karena pesantren selalu mengajarkan laku tasawuf dan tarekat yang di situ sudah selalu diajarkan dzikri khofi, bahwa uang meragukan itu adalah haram. Tapi tetap saya pengin kemukakan bahwa ujian tertinggi adalah di bidang keuangan. Anda bisa lulus pada tahap 1 atau 2 atau 3, tapi belum tentu di tahap 4,” pungkasnya. (Redaksi)


Sehari Ngaji Kepada Pak Dahlan Iskan (Bag. 3. Bagian terakir dari catatan) MERUNTUHKAN TEMBOK SAKRALITAS TEORI SOSIAL

Oleh: Dr. A. Dimyati, M.Ag*

Ada yang menarik pada saat pak Dahlan Iskan (DI) mengisi kuliah umum di Ipmafa, Sabtu 20 November kemarin. Di tengah-tengah orasi ilmiahnya, sebanyak tiga sesi Pak DI memanggil mahasiswa naik panggung untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari beliau. Setiap sesi beliau memanggil 3 mahasiswa, tetapi selalu saja yang naik lebih dari tiga. Mungkin karena topiknya yang sangat relevan (entrereneurship) atau juga metode pak DI yang lebih menarik.

Pada tiga sesi itu ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Sesi pertama beliau meminta maju mahasiswa yang sudah memulai berwirausaha. Pertanyaan seputar usaha apa yang digeluti? Sudah jalan berapa lama, alasan apa yang mendorong berwirausaha. Sesi kedua pertanyaan yang diajukan tentang dari mana modal awal yang diperoleh. Sesi terakhir pak DI meminta khusus mahasiswa yang pernah ditipu orang lain pada saat menjalankan usaha? Bagaimana kronologinya? Apa yang dilakukan ketika sadar dirinya telah menjadi korban penipuan. Satu per satu mahasiswa menjawab dengan lancer semua pertanyaan.

Setelah sesi dialog, Pak DI menyampaikan statemen sederhana yang menyentak benak saya:


“Hari ini teori kewirausahaan telah runtuh. Teori yang mengatakan memulai bisnis menunggu mudal adalah salah. Teori bahwa kewirausahaan bisa diajarkan itu salah. Hari ini saya tidak mengajarkan bagaimana berwirausaha yang benar. Teman-teman kalian sendirilah yang mengajari bagaimana mereka telah menjadi wirausahawan” Kurang lebih seperti itulah yang beliau sampaikan.

***

Benarkah teori entrepreneurship telah runtuh? Apakah begitu mudah membongkar bangunan teori hanya berdasarkan testimony beberap orang, lalu digeneralisasi? Itulah sederet pertanyaan yang seketika muncul dibenak saya.

Tentu saja Pak DI tidak bicara filsafat ilmu. Beliau tidak sedang mengajarkan langkah-langkah penyusunan sebuah teori dan bagaimana mendekonstruksi teori. Teori dihasilkan dari sebuah prosedur ilmiah yang membutuhkan sejumlah langkah pembuktian, pengujian dan pertanggungjawaban secara ilmiah pula.  Apa yang disampaikan oleh Pak DI secara teknis lebih tepat disebut presumsi dan asumsi. Ketika Pak DI menyimpulkan bahwa entrepreneurship tidak bisa diajarkan berdasarkan jawaban dari mahasiswa yang beragam sesuai pengalaman masing-masing, tidak cukup dijadikan bukti kuat kebenaran pernyataan tersebut. Sebagian yang lain mungkin dapat diterima sebagai postulat atau aksioma, seperti kesimpulan bahwa berwirausaha tidak harus menunggu punya modal uang banyak. Pernyataan ini mengandung kebenaran dan tidak memerlukan pembuktian, sehingga bisa menghasilkan dalil-dalil turunan.

***

Sekali lagi Pak DI tidak sedang mengajar filsafat. Jadi, tidak relevan kalau pernyataan beliau dikritisi dari prosedur ilmiah. Meskipun begitu, saya menangkap bahwa itulah tamparan keras kepada dosen-dosen kewirausahaan/ entrepreneurship. Banyak yang masih mengajarkan secara textbook teori-teori entrepreneurship tanpa berusaha merefleksikan ulang dengan perubahan sosial. Padahal sebagai teori social, entrepreneurship bersifat dinamis. Kebenarannya bersifat formil yang berarti jika ada temuan baru yang bertentangan yang juga dihasilkan melalui prosedur ilmiah yang benar, bisa diterima sebagai teori yang baru. Lebih memprihatinkan lagi kalau ada yang mensakralkan teori-teori entrepreneursip dan menolak kebaruan terhadapnya.

Mengajarkan entrepreneurship (dan ilmu-ilmu sosial lain) bukan seperti menjelaskan kalau air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Teori ini baku, sunnatullah. Tetapi teori entrepreneurship dirumuskan berdasarkan pola pengalaman manusia yang mengalaminya. Pola sifatnya hanya garis besar yang berguna menarik kemiripan gejala menjadi sebuah pernyataan kebenaran yang bisa diterima. Oleh karena itu, belajar dari kritik Pak DI, sudah seharusnya dosen ilmu-ilmu sosial merubah cara berfikir. Harus selalu memandang kritis setiap teori yang dibaca dan diajarkan. Teori bukan ayat suci yang sacral. Weber, Marx dan ilmuwan social salinnya bukan nabi yang ma’shum. Pandangan mereka tidak untuk direprduksi begitu saja.

Pak DI mengajak agar kita semua berfikir secara kontekstual, tidak terpaku pada relativitas kebenaran teori. Sangat membekas pernyataan Pak DI ketika dimintai oleh “wartawan kampus” ipmafa agar memberi pesan kepada mahasiswa. Kata pak DI: “Saya orang yang tidak suka memberi pesan. Sebab mahasiswa memiliki zamannya sendiri. Pengalaman saya berbeda dengan pengalaman mereka”. Meskipun pada akhirnya beliau juga mmberi pesan he he..

Terimakasih Pak DI, atas ilmu, semangat dan inspirasinya. Saya sangat berharap dipertemukan kembali dengan panjenengan agar bisa menyerap lagi ilmu, pengalaman dan kebijaksanaan panjenengan. Insyaallah saya sudah punya 3 setel celana training dan beberapa potong kaos yang bis saya pakai untuk gabung senam bersama jamaah “Thariqah as-sanamiyyah ad-Dahlaniyyah”

(Pati, 21-11-21)

*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati.


Sehari Ngaji Kepada Pak Dahlan Iskan (Bag. 2) THARIQAH AS-SANAMIYYAH AD-DAHLANIYYAH: MENGKONVERSI KEKUATAN MODAL SOSIAL MENJADI SARANA DAKWAH

Oleh: Dr. A. Dimyati, M.Ag*

“Kemanapun Pak Dahlan, anggota senam beliau selalu mengikuti” Itulah pernyataan singkat yang saya terima dari teman sesama dosen Ipmafa menjawab pertanyaan saya, ada apa kok pak DI membawa rombongan sebanyak ini untuk menghadiri kuliah umum.

Ketika mendapat tugas menjemput Pak DI di hotel, saya merasa ada yang janggal. Sebab ada dua rombongan yang datang. Satu rombongan kecil Pak DI bersama keluarga (kalau ini saya maklumi karena wajar saja ketika bepergian jauh ada anggota keluarga yang diajak). Tetapi satu rombongan lagi datang langsung dari Surabaya dalam julah besar. Belakangan saya ketahui ternyata itu adalah klub senam yang rutin mengadakan senam bersama dengan Pak DI berbagai tempat yang beliau datangi.

Rasa penasaran saya membayangkan klub seperti apa itu sebenarnya dijawab oleh rekan dosen dan juga saya konfirmasi ke salah satu anggota, bahwa dalam beberapa tahun terakhir Pak DI memiliki klub senam yang tidak hanya ada di Surabaya, tetapi juga di beberapa daerah, terutama yang memiliki biro Jawa Pos Group. Menurut informasi yang saya terima, klub ini (terutama yang tinggal di Surabaya) setia mengadakan senam bersama 3 hari dalam seminggu secara berpindah-pindah tempat, mengikuti aktifitas pak DI. Selama jaraknya terjangkau secara waktu dan tempat (termasuk di IPMAFA Pati), klub ini akan ikut atau menyusul. Tetapi kalau tidak terjangkau, biasanya klub dari biro Jawa Pos Group di daerah yang didatangi pak DI akan menggantikan.

Jangan bayangkan anggota klub senam ini berusia muda, berbodi wow macam artis-artis model baju senam yang sering muncul di iklan TV atau online shop. Kebanyak mereka berusia lanjut, dan tentu saja banyak yang ibu-ibu ha ha ha. Saat saya kenalan dengan beberapa anggota klub, ternyata mereka adalah kalangan profesional yang sudah purna tugas. Ada juga yang masih aktif. Bahkan salah satu anggotanya yang sempat ngobrol lama dengan saya adalah dosen di UINSA dan ketua Gerakan Wakaf Indonesia (GWI). Ini mah bukan klub alay-alay. Senam tampaknya aktifitas yang dipilih, karena selain menyehatkan fisik, juga bisa membangkitkan semangat dan keceriaan. Hentakan music pengiring yang diputar secara random, mulai aransemen riang poco-poco, belaian lembut pop barat klasik, hingga lagu Aisyah Istri Rasulullah berhasil membakar semangat peserta senam, bahkan saya yang hanya menonton karena tidak siap kostum he he.

Apa alasan anggota klub ini begitu setia ada Pak DI? Sejauh yang saya tahu dari obrolan dengan beberapa anggotanya, ternyata sebagian dari mereka adalah orang-orang yang pernah “diasuh” Pak DI di Jawa Pos Group. Sebagian lagi mereka yang bergabung karena tertarik dengan dakwah ala Pak DI. Saya sebut dakwah karena dalam beberapa kali kesempatan, pak DI menyampaikan nilai-nilai spiritualitas dengan bahasanya sendiri kepada anggota club. Begitupun ketika mengenalkan anggotanya kepada saya. “Ayah temannya saya ini adalah guru nahwu saya” Kata Pak Dahlan.

Luar biasa! Pak DI lebih menyebutkan hubungan guru-murid dengan orang tua anggotanya ketimbang mengatakan ini dulu anak buah saya. Itulah nilai ta’dhim yang pernah kami kaji dari ta’limul muta’allim maupun petuah guru-guru kami. Bahwa hormat kepada guru setelah wafat ditunjukkan dengan hormat kepada anak-anaknya. Bukankah itu metode berdakwah yang sangat efektif, tanpa harus berbusa-busa mengutip dalil ini dan itu?

Saya meyakini pak DI orang yang relijius. Bukan karena beliau secara kultural lahir dari lingkungan Nahdhiyin. Bukan juga karena beliau pernah dididik di madrasah diniyah. Tetapi itu saya saksikan langsung ketika ziarah di makam Mbah Mutamakkin dan syaikhuna Kyai Sahal Mahfudh. Setelah sampai dikompleks makam, beliau dengan percaya diri memimpin “hadrah” atau wasilah dan dzikir. Beberapa kali fatihah dibacakan dengan lantang. Saya dan beberapa orang yang mengikuti hanya ikut membaca fatihah saja. Setelah itu, Pak DI dengan fasih, jernih dan mantap melafadzkan tahlil “la ilaha illallah” sebanyak 100x (perkiraan saya ). Lalu doa diserahkan kepada salah satu dari kami yang dipandang lebih tepat membaca doa karena orang pesantren. Hal itu belaiu lakukan dua kali, ketika ziarah kepada Mbah Mutamakkin dan kemudian ketika di makam Mbah Sahal. Demikianpun relijiusitas pak DI beliau tunjukkan ketika shalat 2 rakaat tahiyyatul masjid di masjid Kajen.

Pak Di juga berhasil mengkonversi modal sosialnya sebagai pimpinan Jawa Pos Gorup menjadi bekal berdakwah dengan sangat baik. Oleh karena itu, dengan berseloroh saya menyebut klub senam pak DI dengan Thariqah as-sanamiyyah ad-Dahlaniyyah (Metode berdakwah melalui senam ala pak Dahlan Iskan he he he).

***

Pak DI mungkin sadar, bekal keilmuan agamanya tidak sebanyak orang-orang yang pernah nyantri. Tetapi dengan keterbatasan ilmunya itu tidak menghalangi niatnya untuk berdakwah dengan cara yang sangat elegan dan efektif. Tidak ada kesan menggurui, apalagi menyalahkan orang lain. Beliau bahkan menjadikan orang laing lebih terhormat, seperti ketika menyerahkan urusan doa kepada yang lebih ilmunya.

Model dakwah seperti ini sejatinya yang diperlukan sekarang. Ketika banyak orang yang memaksakan diri menempuh cara-cara dakwah di luar kompetensinya, pada saat orang berdakwah dengan cara menyakiti dan merendahkan yang didakwahi, di tengah gejala “penyesatan” dan pengkafiran kepada orang yang tidak satu gagasan, pak DI menunjukkan bahwa esensi dakwah adalah mengajak, bukan mengancam, menggurui, menyalahkan dan menyesatkan.

Tetap sehat Pak DI.

Tetap istiqomah dengan dakwahnya yang sangat efektif.


*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati.

            

Sehari Ngaji Kepada Pak Dahlan Iskan (Bag. 1) DEDIKASI DAN PROFESIONALITAS

Oleh: Dr. A. Dimyati, M.Ag*

            Sabtu kemarin (20 November) adalah hari yang patut saya syukuri, sebab saya berkesempatan belajar langsung dari salah sau tokoh inspiratif yang semakin jarang di negeri ini, Pak Dahlan Iskan (sebagian orang suka menyebut inisial beliau: DI). Selama ini saya hanya tahu pak DI sebatas dari media mainstream (Koran, TV). Sejauh yang saya tahu beliau orang yang “nyentrik”, bukan dalam arti nganeh-nganehi dari sisi penampilan, tetapi memiliki gagasan yang out of the box . Tidak jarang gagasan itu beliau realisasikan menjadi keputusan meskipun harusmenghadapi risiko dicibir, diremehkan atau dimusuhi.

****

Sebenarnya pertemuan langsung saya yang pertama kemarin berawal dari agenda kuliah umum yang diselenggarakan IPMAFA. Saaat rapat teknis sehari sebelum acara, saya kebagian tugas menjemput beliau dari salah satu hotel di kota Pati. Beberapa agenda sebelum kuliah umum sudah dilist, dimulai jama’ah subuh di masjid IPMAFA, memberi kuliah subuh kepada mahasiswa yang tinggal di ma’had jami’ah IPMAFA, kemudian lanjut ziarah ke makam Syaikh Mutamakkin, mengunjungi situs masjid Kajen, lalu senam pagi bersama “jamaah” senam pak DI yang datang langsung dari Surabaya.

Melihat list acara yang demikian, tentu saja sejak pukul 2 dini hari saya sudah bangun, sebab perjalanan ke hotel tempat menginap pak DI sekitar 30 menit, sementara beliau menjandwalkan pukul 3.00 tepat berangkat dari hotel menuju IPMAFA. Tepat pukul 2.30 saya sampai di depan hotel. Terlihat beberapa kru pak DI sudah mempersiapkan mobil untuk yang akan membawa rombongan kecil pak DI. Setelah memperkenalkan diri sebentar, saya bersama 2 orang kru pak DI yang ternyata pimpinan dan wartawan Radar Kudus (pak Iqbal dan mas Rochim) mengajak saya masuk ke ruang tunggu didepan loby hotel. Kemudian saya lihat mas Rochim minta tolong kepada resepsionis agar membangunkan pak DI. Di sela-sela obrolan kami bertiga, tepat pukul 3.00 Pak DI sudah terlihat keluar dari pintu lift dengan mengenakan kaos hitam dan bersarung merah motif kotak-kotak. Saya buru-buru menghampiri beliau, memperkenalkan diri dan mengkonfirmasi rangkaian acara yang cukup padat. Segera setelah itu kami berangkat menuju IPMAFA.

Selama perjalanan saya beberapa kali koordinasi dengan pihak Ma’had untuk memastikan agar semua sudah siap semua sebelum rombongan sampai. Di luar dugaan perjalanan lebih cepat dari yang seharusnya. Pukul 3.40 tiga mobil yang kami naiki sudah masuk area kampus. Saya sempat deg-degan ketika melihat masjid masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tergopoh-gopoh menuju masjid sambil membetulkan sarung. Maklum memang belum waktunya subuh. Tapi untungnya Pak DI seperti tanggap keadaan, sehingga tidak langsung masuk masjid, tapi justru mengajak saya keliling melihat-lihat fasilitas kampus. Tentu saja saya memanfaatkan hal itu untuk menjelaskan detil setiap fasilitas, mulai dari fungsi, kapan dibangun, bagaimana mekanisme pendanaannya. Begitu adzan dikumandangkan, barulah pak DI saya persilahkan ke masjid.

Selesai jama’ah, lagi-lagi saya coba memanfaatkan kesempatan untuk sedikit maksa pak DI agar berkenan memberikan kuliah subuh di depan mahasiswa. Meskipun awalnya menolak, tapi akhirnya beliau bersedia juga menyampaikan materi kuliah subuh yang sangat inspiratif. Pak DI membuka forum dengan memperkenalkan diri sebagai “bukan orang terpelajar”. Pendidikan formal yang beliau selesaikan haya di tingkat SLTA, sehingga merasa tidak layak mendapat gelar kehormatan akademik Prof., Dr. (HC).

Setelah itu beliau bercerita salah satu pengalaman ketika”dipaksa” Gus Dur menjadi Dirut Bank Nusuma, yang ketika itu masih bernama bank Suma. Bank swasta yang hampir kolaps itu dibeli NU (karena itu berubah nama menjadi NUSUMA), dan pak DI diminta untuk menyelamatkan asset dan bisnisnya. Pak DI pasti tahu betul kondisi bank Suma. Tetapi seperti yang beliau bilang, tidak mungkin menolak dawuh Gus Dur, seorang kyai yang oleh pak DI dianggap sebagai gurunya. Pada saat pak DI bertanya kepada Gus Dur, apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bank Suma, Gus Dur bilang “ya, tempatkan dana sampean di situ menjadi saham”, pak DI pun manut-masut saja. Ternyata tidak selesai di situ, Gus Dur minta agar pak DI sekalian menjadi Direktur Utamanya. Pak DI pun hanya bisa sendiko dawuh dengan syarat, Gus Dur sebagai komisaris utamanya. Deal!

Singkat cerita bank Suma berhasil diselamatkan, lalu berubah nama menjadi Nusuma dan pak DI menjadi Direktur Utamanya. Lagi-lagi Gus Dur meminta sesuatu yang bagi saya nyaris tidak masuk akal. Pak DI diminta mengembalikan sahamnya dan menyerahkan bank Nusuma kepada “pemilik asalnya” yang baru saja pulang dari “pengasingan”. Siapapun kalau berada dalam posisi pak DI akan menolak permintaan gila itu. Tapi sekali lagi pak DI menunjukkan rasa hormatnya kepada guru yang sangat dia hormati. Bank Nusuma dilepas begitu saja.

***

Apa yang diceritakan pak DI menunjukkan betapa besar harga sebuah dedikasi dan komitmen kepada orang lain. Kepatuhan pak DI kepada Gus Dur tidak pernah dibebani dengan pertimbangan rasional untuk berhitung untung rugi. Apakah pak DI tidak tahu hal itu? Mustahil kalau dibilang tidak tahu. Beliau di dunia bisnis sudah menjadi pioneer selama puluhan tahun. Bahkan ketika memimpin Jawa Pos Group, belau sudah mengadopsi teknologi yang jauh meninggalkan pesaingnya sesama media cetak nasional. Beliau juga pernah menjabat sebagai menteri. Gagasan beliau yang progresif melampaui masanya juga terlihat ketika menginisiasi mobil listrik dengan pertimbangan masa depan yang menghadapi problem kelangkaan sumber daya fosil. Beliau yang memimpin langsung produksi prototype mobil listrik pertama, jauh sebelum Jerman, Amerika dan China memegang kendali produksi dan pemasaran mobil ini.

Meski begitu dedikasi pak DI mengalahkan keuntungan pribadinya. Seandainya mau sedikit ngeyel dengan Gus Dur dengan mempresentasikan kebehasilannya menjadikan bank yang nyaris kolaps menjadi sehat, bahkan memberikan kontribusi laba usahanya kepada NU, mungkin kendali atas bank Nusuma masih bisa di tangan pak DI. Dalam kasus bank Nusuma saya juga melihat dedikasi pak DI tidak membabi buta. Beliau tetap mengedepankan profesionalitas. Sebagai orang yang mendapat amanat memimpin bank Nusuma, Pak DI menerapkan kemampuan manajemen terbaiknya.

Dedikasi dan profesionalitas itu pula yang terlihat selama saya mengawal beliau mulai jam 3.00 dini hari. Beliau selau on time, berpegang pada step by step agenda yang sudah disepakati. Padahal saya mendapat pesan dari Pak Rektor untuk mengikuti saja apapun yang dimaui pak DI termasuk ketika tiba-tiba merubah agenda. Tetapi yang saya temui justru sebaliknya. Pak DI selalu bertanya kepada saya, setelah acara ini kita ke mana, berapa lama alokasi waktunya. Sikap professional beliau itu yang menjadikan saya pede untuk “mengatur” beliau selama berada dalam “kekuasaan saya”. Termasuk ketika kami ajak ziarah ke makam Syaikh Mutamakin dan Syaikhuna Kyai Sahal Mahfudh, lalu mengunjungi masjid Kajen. Beliau manut dan menunjukkan antusias tinggi, ketika menderngar penjelasan sejarah Mbah Mutamakkin, Mbah Sahal dan masjid Kajen. Beliau tidak segan menanyakan filosofi setiap ornamen di masjid bersejarah yang berusia lebih dari 400 tahun itu. Menutup agenda ziarah, pak DI menyempatkan shalat tahiyyatul masjid 2 rakaat dan melafalkan doa dengan khusyuk.

Sesaat setelah mobil rombongan masuk halaman kampus IPMAFA, terlihat “jamaah senam” Pak DI sudah siap melaksanakan senam pagi. Mereka memakai kostum senam lengkap, menunggu kedatangan pak DI sambil ngobrol dan selfi bersama mahasiswa dan dosen yang akan ikut senam. Pak DI segera keluar mobil dengan kasos hitam yang beliau pakai sejak dari hotel tadi. Lalu naik panggung, memimpin senam dengan sangat bersemangat. Usia 70 tahun tidak terlihat lagi. Semangat dan energi beliau melampaui mahasiswa yang masih muda-muda. Padahal kondisi fisik pak DI “tidak sempurna”. Beberapa waktu lalu beliau baru saja melakukan transplantasi hati. Luar biasa pak DI!

***

Kuliah subuh yang hanya sekitar 15 menit dari Pak DI sangat berkesan bagi mahasiswa yang mengikuti. Begitupun sikap beliau yang selalu respek pada orang lain, professional, on time dan menyebarkan semangat kepada siapapun. Hal-hal kecil selalu beliau perhatikan untuk menularkan semangatnya kepada siapapun yang melihatnya. Termasuk saat sesi foto selepas senam dengan beberapa dosen, beliau menyempatkan diri mencium istri tercinta dengan mesra. “So sweet pak DI”. Biar saja mahasiswa yang jomblo hanya bisa teriak histeris melihat kemesraan pak DI dan ibu.

                                                        

Tetap sehat dan terus menginspirasi Pak DI.


*Dr. A. Dimyati, M.Ag, Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Pesantren Mathali'ul Falah (IPMAFA) Pati.

DON'T MISS

Nature, Health, Fitness
© all rights reserved
made with by templateszoo