Tawaduk: Potret Manusia Sebenarnya Lemah, Mengapa Jadi Takabbur?


Berita Ipmafa – Potret manusia itu sebenarnya daif (lemah), tapi kenapa tidak menjadikan manusia bertawaduk (rendah hati), justru malah takabur, merasa diri paling mulia? Banyak kemungkinan yang melatarbelakanginya, diantaranya adalah harta, kekuatan dan kekuasaan. Maka berhati-hatilah dengan hal-hal itu.
Demikian petikan materi tawaduk dalam kuliah Nilai Dasar Shalih Akram (NDSA) oleh KH Asnawi Rohmat, Lc di Masjid Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa), yang diikuti seluruh mahassiwa semester I Sabtu (28/9/19) lalu.
Padahal semua itu sifatnya hanya sementara, bisa hilang kapan saja. Kalaupun kita kaya tentu ada yang lebih kaya. Siapa yang bisa menandingi kekayaannya Nabi Sulaiman as? Tidak ada. Tapi beliau tidak lantas bersombong diri karena tahu betul bahwa semua yang melekat padanya adalah titipan sementara belaka,” terang Kiai Asnawi.

Takabur, menurut Kiai Asnawi, merupakan salah satu dari sekian penyakit hati yang membutuhkan penawar agar tidak menjalar ke mana-mana. “Lantas bagaimana mengobatinya? Yakni dengan ilmu, wiridan, taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, diimbangi dengan rasa syukur,” terangnya.
Lebih lanjut Kiai Asnawi menambahkan, penyakit hati tidaklah tampak secara medis, namun tampak dalam perilaku, tutur kata, dan akhlak. Sedangkan yang mampu menilai atau mendiagnosa bukanlah diri sendiri, namun orang lain.
Menjelang penutupan, Kiai Asnawi memberikan sebuah pesan tentang pentingnya menjaga pola keseimbangan antara kegiatan duniawi dan ukhrawi untuk mendukung munculnya sifat qona’ah (sikap rela menerima dan selalu merasa cukup).
Kiai Asnawi mencontohkan dalam memenuhi kebutuhan apapun setidaknya disesuaikan dengan asas kemanfaatan. “Jika tidak tahu asas manfaatnya maka bisa jadi mubazir,” paparnya.
Pada akhir sesi Kiai Asnawi menyampaikan waktu yang tepat untuk menjaga pola keseimbangan duniawi dan ukhrawi. “Kapan saat yang tepat untuk menyeimbangkan keduanya? Ya, kalau saatnya ibadah ya ibadah, kalau saatnya bekerja ya bekerja, jangan dibolak-balik,” pungkas Kiai Asnawi.


Bangun Jiwa Militansi dalam Keberagaman, Dema Ipmafa Gelar TOO


Berita Ipmafa – Sebagai langkah preventif agar mahasiswa mempunyai benteng pertahanan dari propaganda yang disulut oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Intitut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) menggelar Training of Organisation (TOO) bertuajuk Membangun Jiwa Militansi dalam Keberagaman di Ruang Auditorium II (25/9/19).
Hal tersebut selaras dengan semangat yang diusung dalam Studium Generale bertajuk Diversity in Unity: Membentuk Identitas Kolektif Mahasiswa Berdasarkan Nilai-nilai Pesantrenyang digelar Ipmafa pada Sabtu (21/9/19) lalu.
Sebagaimana dilansir dari ipmafa.ac.id (21/9/19) dalam kegiatan studium generale tersebut, Wakil Rektor Ipmafa Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Ahmad Dimyati menyampaikan bahwa mahasiswa dalam menghadapi tantangan jangan mudah terbawa arus. Menurutnya musuh bersama saat ini adalah ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa, pada masyarakat.
“Konflik yang terjadi, misalnya keberagaman, memang selalu memicu pergerakan mahasiswa untuk turut andil dalam menyelesaikan persoalan. Namun apa jadinya jika pergerakan yang dilakukan mahasiswa salah sasaran?” tutur Ketua Panitia TOO, Angga Syafi’i.
Dikabarkan mediaindonesia.com (Senin 22 Oktober 2018, 16:10 WIB), masyarakat Indonesia ini sangat majemuk, maka perlu langkah kehati-hatian dalam mengawal isu keberagaman. Alih-alih mengawal isu nasional malah membuat suasana semakin meruncing karena ketidaktepatan dalam penggiringan opini masyarakat.
Menyoal keberagaman, Ketua Senat Mahasiswa (Senat) Ipmafa Syahrizal Fauzi menyampaikan ketika seseorang tidak bisa menerima keberagaman, maka bisa jadi ia akan menjadi agen konflik atau penebar benih-benih untuk menjadi agen konflik pada diri sendiri di masa depan ketika terjun di tengah masyarakat kelak.
Maka ini yang menjadi salah satu tugas dan tantangan kita. Dan kegiatan (TOO) ini merupakan langkah preventif menangkal sedini mungkin terjadinya konflik di masa yang akan datang,” ungkap Syahrizal.


Mahasiswa Bidikmisi Raih Juara 2 Qira'atul Akhbar

Kudus – Bidikmisi torehkan prestasi, sabet juara 2 dengan mengikuti ajang Kemah Bahasa Arab (KBA) di Graha Muria, Colo, Kudus (19-21/9).Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) Pati yang juga sebagai Kamadiksi Ipmafa (keluarga penerima Bidikmisi IPMAFA) berhasil mencatatkan prestasi cabang lomba qiroatul akhbar, atas nama M. Afiyan Charis (PBA 3 Reguler). Meski masih terdapat banyak anggota lain yang mengikuti ajang ini, dan mendapatkan keberhasilan yang tertunda.
Kegiatan KBA yang digelar Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab se- Jateng & DIY atau yang dikenal dengan Ittihadu at-Thalabah Lughah Arabiyah (ITHLA) DPW 3 tersebut diikuti sekitar 270 peserta dari 16 instansi perguruan tinggi termasuk Ipmafa.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Gubernur Jateng KH. Taj Yasin Maemoen. Yasin merasa bangga melihat semangat mahasiswa yang mampu melestarikan Bahasa Arab di negeri ini. Ia juga berharap mahasiswa mampu menjaga kelestarian Bahasa Arab tersebut dengan kaidah-kaidah yang baik dan benar.
Kegiatan ini sebagai salah satu bentuk ajang yang positif dalam pengembangan prestasi mahasiswa, diharapkan masih terdapat banyak kegiatan yang serupa dibidang- bidang lainnya, yang mewadahi mahasiswa mengukir prestasinya.  

Bertahapnya seleksi Penerimaan Bidikmisi, saring 10 mahasiswa berprestasi


Pati, 12 september 2019  , ma’had jami’ah mathali’ul falah selenggarakan ujian seleksi penerimaan beasiswa bidikmisi diaula banat ma’had. 26 mahasiswa baru calon penerima bidikmisi datang dengan penuh antusias untuk mengikuti ujian seleksi awal setelah diterimanya seleksi administrasi sebelumnya. Dengan menguji empat bidang kemampuan yakni bahasa arab, bahasa inggris, keagamaan serta al qur’an oleh para penguji yang meliputi ibu Raodah, bapak Edi, pak Agus, bapak umar serta bapak Ali.
Diharapkan dengan ujian seleksi ini benar-benar terpilih penerima yang tepat yang memiliki skill mempuni sebagai musyrif musyrifah yang mana penerima bidikmisi esoknya diwajibkan ber khidmah sebagai musyrif musyrifah yang mendampingi mahasiswa baru. Seleksi ini tidak berhenti pada ujian tersebut. Tetapi masih terdapat lanjutan ketahap yang berikutnya. Bertahapnya seleksi ini diharapkan mampu menyaring dan meyalurkan bantuan ke penerima yang tepat.
Pada tanggal 16 September 2019 ,Alhamdulillah rasa syukur atas penerimaan 10 anggota Kamadiksi baru, yakni
1. Nadilla Lathifatun N.
2.Alfi Nur Susanti
3.Nabila Azka Maziyya
4.Hendri Maryanto
5.Inayatun Nafisatul 'Aini
6.Ismi Fadhilatun Miami
7.Dzakiyyatul Ummah
8.Intan Puspita Sari
9.Maulidatul Ahadiah
10.Anif Muyasaroh
Semoga dapat dimanfaatkan betul oleh para penerimanya.

Kritikanmu Pedes! Giliran Dimintai Solusi Bilang “Embuh”


Berita Ipmafa – Kritik dalam berorganisasi lumrah terjadi. Namun tak jarang ada yang marah karena datangnya kritik tak sepaket dengan solusi. Sudah pedes kritikannya, giliran ditanya solusi bilangnya ‘embuh’. Kalau tak ada solusi, sampaikan kritikmu dengan baik-baik.
Demikian petikan penyampaian materi Ketua Senat Mahasiswa Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Senat Ipmafa) Syahrizal Fauzi dalam Training of Organisation (TOO) bertema Membangun Jiwa Militansi dalam Keberagaman di Ruang Auditorium 2 (25/9/19).
Jangan bisanya cuma mengkritik saja. Iringilah kritikmu dengan solusi. Apalagi sudah habis-habisan mengkritik, ketika ditanya solusinya bilang “embuh”. Kalau tak ada solusi lebih baik kritikannya disampaikan secara baik-baik,” tutur Syahrizal.
Selain menyoal kritik, Syahrizal juga memberikan tips-tips menumbuhkan minat dan semangat berorganisasi kepada para peserta kegiatan. Syahrizal menyampaikan agar memilah dan memilih organisasi yang sesuai dengan minat dan bakat atau passion masing-masing.
“Jika dalam perjalanannya tidak sesuai dengan yang diharapakan, maka tidak lantas kecewa dan buru-buru meninggalkan organisasi, namun cepatlah ambil sikap untuk belajar menyesuaikan diri dengan keadaan,” imbuhnya.
Menciptakan kondisi organisasi yang kondusif, menurut Syahrizal juga menjadi poin penting dalam menumbuhkan semangat berorganisasi. Termasuk salah satu cara yang dilakukan adalah berusaha agar dapat diterima orang lain.
Selain itu, kita juga harus mau menerima perbedaan karakter orang lain, menghindari sifat egois dan mudah tersulut emosi, tidak membawa masalah pribadi ke dalam organisasi, menjaga komunikasi dengan baik, termasuk menggunakan tutur kata yang baik, ketika mengetahui temannya melakukan kesalahan jangan dihakimi di depan umum, sakit, ambyar hatinya. Ajak ngobrol lah secara baik-baik,” pungkas Syahrizal.

Santri itu Punya Culture of Difence Ketika Berhadapan dengan Gempuran Pragmatisme-Matrealisme

Mahasiswa Baru Institut Pesantren Mathali'ul Falah (Ipmafa) saat berdoa bersama dalam kegiatan Studium Generale (21/9/19) di Auditorium I.

Berita Ipmafa – Hiruk pikuk perkotaan dengan segala fasilitas yang memadahi tentu saja berpotensi merenggut akar-akar kesantrian. Namun santri itu mempunyai Culture of Difence dalam menghadapi gempuran pragmatisme dan matrealisme di era globalisasi ini.
Hal tersebut disampaikan Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis Toleransi Beragama Tedy Kholiludin dalam Studium Generale Institut Pesantren Mathali’ul (Ipmafa) di Auditorium I (21/9/19).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Tedy terhadap santri di daerah urban Kauman-Semarang, ia menemukan setidaknya ada tiga cara yang dilakukan santri dalam mempertahankan diri agar akar-akar kesantriannya tidak tercerabut, yaitu dengan Collective Memory, Bridge of Memory, dan simbol-simbol tertentu yang menjadi identitas kolektif.
Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis Toleransi Beragama Tedi Kholiludin saat menyampaikan materi tentang Diversity in Unity: Membentuk Identitas Kolektif Mahasiswa Berdasarkan nIlai-nilai Pesantren.

Menurut penelitian Tedy, collective memory bisa menjelma menjadi collective identity jika terus dipertahankan. “Misalnya para santri urban mempertahankan ingatan tentang kota kita itu adalah kota santri betatapun sudah menjadi metropolitan atau bahkan kosmopilitan. Namun ingatan tentang kota ini sebagai kota santri menjadi penting untuk dijaga karena akan membentuk identitas kolektifnya,” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Tedy, ingatan tentang mahasiswa yang mempunyai kontribusi terhadap pembangunan dan mengimbangi kekuasaan tidak hanya fakta tetapi juga menjadi ingatan bersama. Inilah cara pertama yang bisa digunakan untuk membentuk identias.
Kedua, terdapat jembatan ingatan (Bridge of Memory). Menurut Tedy, manusia mempunyai keterbatasan untuk menjangkau situasi atau ingatan masa lalu. Maka untuk menjangkaunya harus melewati bridge of memory.
“Bentuknya bisa bermacam-macam, misal dengan ritual. Collective identity tentu saja sangat mungkin bisa dibentuk karena ada ritus bersama. Orang-orang NU atau santri di perkotaan misalkan mengingatkan kepada tetangganya dengan ungkapan, “ngko nek mati ora ditahlili lho” (suatu saat kalau meninggal tidak ditahlilkan lho). Nah, hal itu sebenarnya merupakan ancaman. Maka sebagai santri ya harus tahlilan. Dan sebagai masyarakat yang hidup di sekitar pesantren perkotaan tahlilan akan menjadi commont rites (ritus bersama) yang mengingatkan atau mengikat hingga akhirnya menjadi identitas kolektif para santri dan masyarakat sekitarnya,” paparnya.
Ketiga, menurut Tedy ada simbol-simbol tertentu yang menjadi identitas kolektif. “Mislanya kalau di Semarang ada Kauman sebagai Kampung Qur’an, ada Kiai Sholeh Darat sebagai intelektual di mana KH Hasyim Asyary dan KH Ahamd Dahlan pernah mengaji di sana. Nah, pertanyaannya, dapatkah kita memunculkan atau memepertahankan simbol-simbol kesantrian di daerah kita?” sentil Tedy.

Mahasiswa PBA Ipmafa Boyong 2 Piala KBA Jateng & DIY


Berita Ipmafa, Kudus Dua Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) Pati berhasil menorehkan prestasi dengan menyabet 2 piala dalam ajang Kemah Bahasa Arab (KBA) di Graha Muria, Colo, Kudus (19-21/9).
Kedua mahasiswa tersebut adalah M. Afiyan Charis (PBA 3 Reguler) yang berhasil memboyong piala Juara 2 dari cabang lomba qiroatul akhbar dan Wahyu Jimi Pradana (PBA 3 Khos) dengan piala juara 3 dari cabang lomba insya'.
Alhamdulillah kita biasa bawa pulang 2 piala. Meski tak juara 1, semoga tidak menjadikan kami puas sampai di sini saja, namun justru dapat meningkatkan semangat berprestasi kita semua mahasiswa Ipmafa,” tutur Wahyu.
Kegiatan KBA yang digelar Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab se- Jateng & DIY atau yang dikenal dengan Ittihadu at-Thalabah Lughah Arabiyah (ITHLA) DPW 3 tersebut diikuti sekitar 270 peserta dari 16 instansi perguruan tinggi termasuk Ipmafa.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Gubernur Jateng KH. Taj Yasin Maemoen. Yasin merasa bangga melihat semangat mahasiswa yang mampu melestarikan Bahasa Arab di negeri ini. Ia juga berharap mahasiswa mampu menjaga kelestarian Bahasa Arab tersebut dengan kaidah-kaidah yang baik dan benar.
Saya turut merasa bangga melihat ada perkumpulan mahasiswa Bahasa Arab seperti ini yang diharapkan mampu melestarikan Bahasa Arab dengan kaidah-kaidah yang benar,” ungkap Yasin.
Selain perlombaan, termasuk rangkaian kegiatan dalam KBA juga ada seminar nasional bertemakan Aktualisasi Bahasa Arab di Era Digital dengan narasumber Dr. Mahmud Hamzawi, keesokan harinya (20/9) dilanjutkan dengan lomba-lomba antar instansi seperti Debat Bahasa Arab, Qiroatul Akhbar, Insya', Khitobah, dll.
Malam harinya dilanjutkan dengan penyalaan api unggun. Pada kegiatan malam terakhir tersebut diisi dengan beberapa hiburan oleh juara ghina' dan syi'ir. Para peserta tampak sangat menikmati malam itu.
Terakhir, esok hari (21/9) rangkaian acara KBA ditutup dengan acara rihlah ke Museum Gusjigang Kudus untuk menelusuri sejarah Kota Kudus yang terekam di dalam Museum tersebut. Di anatara tujuannya adalah memberikan pengetahuan kepada peserta tentang pembuatan jenang khas Kudus sekaligus menyegarkan pikiran setelah 2 hari melaksanakan kegiatan.

Studium General, Wakil Rektor: Hadapi Tantangan Jangan Terjebak Pada Romantisme Masa Lalu


Berita Ipmafa – Dalam menghadapi tantangan jangan sampai terjebak pada romantisme masa lalu sehingga kita dengan mudah terbawa arus dari pergerakan di luar sana yang selalu punya mindset bahwa politik dan penguasa harus dilawan. Musuh bersama saat ini adalah ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa, pada masyarakat.

Demikian petikan sambutan Wakil Rektor Institut Pesantren Mathali’ul Falah (Ipmafa) Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Ahmad Dimyati dalam Studium General bertemakan “Diversity in Unity: Membentuk Identitas Kolektif Mahasiswa Berdasarkan Nilai-nilai Pesantren” yang digelar di Auditorium I (21/9).
“Kita jangan sampai terjebak pada romantisme masa lalu di mana untuk menyamakan, menggeneralisir bahwa musuh bersama dalah sistem politik. Hal-hal itu yang seharusnya kita sadari dan kita angkat ke dalam arus pergerakan mahasiswa dan menjadi kesadaran bersama supaya ada manfaat yang jelas dari apa yang akan dilakukan mahasiswa nantinya,” tutur Dimyati.
Sejenak Dimyati mengajak mahasiswa menengok sejarah. Terdapat alasan yang tidak sederhana mengapa Identitas kolektif mahasiswa Ipmafa dianggap penting. Hal ini tidak lain mengingat kondisi dan tantangan yang dihadapi mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa masa lalu.
“Dulu mahasiswa dengan begitu mudahnya disatukan idenya, gagasannya, gerakannya dengan yang disebut sebagai public enemy (musuh bersama) yaitu sistem pemerintahan, sistem politik yang tiranis. Maka pergerakan pada masa lalu lebih didominasi pada bagaimana menerobos batasan-batasan yang diciptakan oleh elit politik yang sifatnya tidak berpihak pada demokrasi kebangsaan,” terangnya.
Dimyati menambahkan, Pasca reformasi sampai saat ini tantangannya telah berubah. Tidak ada lagi musuh bersama yang disebut sebagai sistem politik yang sifatnya tiranis. Menurutnya yang paling penting adalah bagaimana mahasiswa mampu mengidentifikasi apa yang sebenarnya dihadapi dan tantangan apa saja yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
Selanjutnya, narasumber Dr. Tedy Kholiludin, M.Si menyampaikan secara lebih detail dan komprehensif mengenai strategi mengangkat nilai-nilai pesantren agar menjadi kepentingan bersama yang menjadi landasan pergerakan mahasiswa saat ini.
Pakar Sosiologi Agama dan Aktivis Toleransi Beragama tersebut menambahkan bahwa pesantren dengan segala kemampuan serta kekuatan yang dimiliki mempunyai strategi untuk mengenalkan jalan-jalan yang berbeda. Termasuk di antaranya mahasiswa dibekali dengan ilmu Ushul Fiqh.
Tedy juga menjelaskan strategi kebudayaan pesantren dalam menghadapi arus modernitas dan globalisasi. Di luar itu Pria kelahiran Kuningan, 27 Juni 1981 tersebut juga membocorkan adanya peluang-peluang agar instrumen dakwah Islam yang ramah dan toleran bisa disalurkan melalui kebudayaan populer.




DON'T MISS

Nature, Health, Fitness
© all rights reserved
made with by templateszoo